Aji Yulianto
Dear Bulan..

Dulu kita pernah mengindahkan dunia dengan kata-kata. Merajut kata mengekspresikan rasa, melahirkan secuil asa.
Dulu kita pernah berbicara tentang rahasia. Rahasia tentangku dan tentangmu, yang mungkin tidak pernah kita bagi dengan siapapun. Hanya kita yang tahu rahasia itu.

Bulan, aku adalah hampa yang bersinar dengan sentuhan sinarmu. Aku merasa "ketagihan" berteman denganmu. Sangat sulit bagiku menemukan teman, untuk berbagi rahasia.
Bulan, aku tahu teman-temanmu banyak di atas sana. Terkadang aku iri denganmu.
Sesaat keinginan untuk tetap berbagi denganmu melandaku. Namun sinarmu mulai memudar dari wajahku, kau seperti memalingkan sinarmu dariku.

Bulan, apa aku salah dengan perasaan nyaman ini?
Aku sedikit diam padamu namun kau benar-benar diam padaku.
Bulan, aku rela meskipun sinarmu tak lagi tertuju padaku. Aku pun sadar diri, aku tak pandai menghitung jumlah bintang, seperti menghitung perkalian dalam matematika. Aku tak pandai merangkai kata untuk merayumu.
Aku sangat menyayangkan perlakuanmu yang terlalu acuh. Sinarmu membelakangi ragaku. Sapaanku hanya kau jawab dengan sekali kedipan cahayamu.
Seolah kau lupa bahwa kita pernah bersama-sama merangkai keindahan, meskipun sesaat.

Bulan, aku tahu sesuatu di luar sana jauh lebih indah dari pada di sini.
Aku tahu, sinarmu sedang menyinari sesuatu itu agar lebih indah.
Setidaknya sesekali kau tengok aku yang kembali gelap tanpa sinar. Namun kau tetap diam, keacuhanmu aku anggap sebagai bentuk tak ingin lagi berteman. Ya, aku memahami kau telah menemukan teman baru untuk kau sinari, agar tak redup.

Aku semakin diam memendam, aku berpikir dalam-dalam setidaknya kita tetap berteman. Aku tutup semua celah agar kau tak kembali datang, aku semacam takut.

Bulan, maafkan aku tak bisa menjadi temanmu yang baik.
Semoga sinarmu tak pernah redup, tetaplah ciptakan kedamaian dengan keindahanmu.

Suatu saat aku pasti akan membuka kembali celah itu, ketika bulan baru dengan sinarnya mengetuk ingin menerangiku.
0 Responses